anonyma

Dia Yang Tak Mau Disebut Namanya




Dear, Sobatku…

Pukul 08.30 pagi kulangkahkan kakiku menuju kampus dengan perasaan yang sama. Hingar –bingar suara musik di mobil sama sekali tidak menggangguku seperti hari kemarin. Aku merasa melayang –layang, pikiranku terbang jauh mencari ruang kesadaran. Hari ini, aku harus melakukannya lagi. Memainkan peran setengah hati sebagai mahasiswa. Terlalu banyak kemunafikan, institusi yang menjunjung misi untuk mencetak manusia intelek dan bermoral rupanya hanya ‘pemanis’ di lembaran kertas akademik. Aku muak. Para mahasiswa diajari dengan teori- teori materialis –sekuler dari para pemikir barat, dan pandangan filosofi tentang hidup, kering. Kamu tahu, bahkan sang dosen yang ngajar pun, tak tahu untuk apa dia hidup. Para pejabat kampus sibuk melakukan korupsi, mengeksiskan sukuisme, memanfaatkan ‘orang orang kecil’, menekan dengan berbagai kebijakan untuk mendapatkan ‘sesuatu’, jilat –menjilat menjadi budaya. Aku menjerit, sakit, institusi macam apa ini?!!!...
           
Fiuh,,,akhirnya mobil angkot yang kutumpangi berhenti dengan smooth di depan fakultas. Aku turun, berjalan melewati koridor dengan langkah –langkah pasti. Kumasuki ruang lab dengan santai. Di ruangan berukuran 8x10 itu ada studio radio kampus, perangkat keras komputer yang sudah mulai berdebu karena tak pernah dipakai, di sebelah kanan ruangan, ada ruang berukuran kecil untuk staf dan kepala lab. Ternyata si dosen belum datang. Teman –teman menyapaku apa –adanya dengan ramah, sebagian dari mereka berkerumun, ada yang duduk sendirian, entah apa yang dipikirkannya. Aku mengeluarkan buku “Berontak [bukan] Tanpa Sebab” dari tasku, ada beberapa bagiannya yang kusobek karena tidak layak untuk dibaca. Semacam biografi singkat, buku ini memuat beberapa tulisan tangan (yang sudah dibukukan) dari tokoh –tokoh pembaharu dan para artis dengan caranya sendiri. Tulisan Malcom X, Ernesto Guevara, dan Bob Marley si rastafari adalah favoritku.
           
Sepertinya, ada diskusi menarik dari kerumunan di sisi kanan tempat aku duduk. Jangan salah, aku sama sekali tidak mencuri dengar pembicaraan mereka. Aku mengangkat kepalaku, menangkupkan lenganku ke dagu. Aku merasa seperti seorang pengamat di ruangan ini, aku memperhatikan gerakan mereka, seperti seorang ibu yang sedang memantau gerak motorik anaknya di masa pertumbuhan. Hehehe.. aku koq jadi hiperbol yach!

Hupp.. aku menangkap lirikan ‘berarti’ seseorang dari ujung mataku. Sudah kuduga. Seharusnya kubawa note untuk mencatat berapa kali dia mencuri kesempatan untuk sekedar melihatku di antara obrolan dengan teman –temannya. Kuch –kuch hota hai, aku tidak menyukai alur film itu, tapi, kurang lebih itulah yang sedang terjadi di ruangan ini, di dalam diri seseorang dalam konteks yang mungkin sedikit berbeda. Jangan salah, aku sama sekali tidak merasa terbang dengan perhatiannya, aku tertawa, ingin menangis, miris! Kamu bingung? Heran? Kamu pasti akan bertanya, apakah aku pernah tercatat di ruang praktek seorang psikiater? Bagaimana mungkin ada seorang gadis ingin menangis ketika seorang cowok ‘idola’ mencuri pandang ke arahnya? No, no! tidak sobat. Bukan tentang rasa, bukan tentang bentuk…Jangan salah! ini soal kesadaran. Kamu mungkin akan sedikit bingung dengan dramatisasi pikiranku. Duduklah, coba pahami setiap mantra yang kuucapkan…

Sesaat, di masa ketika curi pandang yang dia lakukan terhadapku semakin bertambah intensitasnya setiap hari, aku berpikir, ‘apa yang ada di batok kepalanya? Apa yang ingin dia tahu? Mengapa dia melihatku seperti barang antik?’ kamu tahu, dengan kepekaanku selama ini, aku bisa saja menduga dan berasumsi atas perilaku –perilaku kecil yang ditunjukkannya bukan??? Bisa saja dia ingin mengenalku lebih jauh sebagai teman (ingat kan! Selama di kampus baru sekali aku berbicara dengan dia, itupun kubuat se-formal dan se-profesional mungkin sebagai seorang akademisi, supaya tidak ada kesan keakraban antara junior dan senior)? atau dia ingin berdiskusi? Atau…dia melihat darah rebel mengalir di nadiku (kegeeran), dan karenanya dia menjadi penasaran? Ya kan??? 

Aku tidak mau naïf sobat. Aku bukanlah tipe makhluk berjenis kelamin cewek yang ‘layak ditemukan’. Aku terlalu biasa, bahkan untuk diriku sendiri. Jangankan untuk berasumsi lebih dari itu, dalam konteks kagum saja aku merasa tak pantas! Aku bukan siapa –siapa! Kadang, aku melihat diriku tidak lebih dari kesatuan daging dan tulang belaka. Itulah aku, calon makanan bagi ulat –ulat dan belatung. Aku berdiri dan berbicara padamu dengan kepala tegak hanya dengan sebuah kekuatan yang tak pernah henti kusyukuri, ruh. Ya, ruh dalam bentuk jiwa dan kesadaranku sebagai seorang hamba dari sang SuperMaster Allah Azza wa Jalla. Untuk apa merasa?

Kamu mungkin akan mendebatku setelah ini, ‘kamu juga manusia, kamu layak mendapatkan apa yang didapatkan orang lain?!’ kurang lebih itulah yang sering kamu katakan, sejak dulu. No, no, sobat! Dalam hal ini kita berbeda. Kalau pun suatu saat nanti dia bisa mengumpulkan kekuatannya untuk datang dan berbicara padaku, situasinya tidak akan seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak akan membangun apa pun selain hubungan persaudaraan antara seorang muslimah yang telah dikaruniai hidayah, menemukan jalan pulang ke-naungan world –view Islam, dengan seorang muslim yang sedang “tersesat” dan mencari ‘peta’ perjalanan hidup untuk menuju naungan yang sama. Aku hanya akan memberikan ‘peta’nya, tidak bersamanya mencari jalan itu. Subhanallah…syahdunya. Itulah hubungan paling manusiawi di atas bumi ini sobat! Hubungan yang tidak didasari atas dorongan sentimental perasaan belaka, atau kepentingan dan manfaat saja.

Ough …sudahlah, sungguh aku tak bermaksud menyinggung siapapun. Jangan sesedih itu sobat! Aku bukan malaikat yang tak pernah salah, bukan pula hewan yang tak punya aturan. Aku manusia, kamu manusia dan dia pun manusia, punya akal dan perasaan. Bisa sederajat dengan para malaikat, sebaliknya, bisa lebih rendah dari hewan. Hidup adalah sebuah game yang menantang, setiap orang menjadi lakon berdasarkan apa yang ia pilih sendiri. Ibarat sandiwara di atas sebuah panggung. Jangan kamu pikir aku tak bahagia dengan keadaanku sobat, aku benar –benar menikmati lakon yang kuperankan. Sebab aku tahu, aku makhluk yang bebas, aku tidak terikat dengan siapa pun, dengan apa pun selain dengan sebuah janji yang pernah kupatrikan di kediaman suciku dengan sang Raja Semesta.

Anyway, semuanya harus berakhir juga pada akhirnya. Lama tak jumpa denganmu membuatku rindu. Aku rindu dengan keceriaanmu, dengan ceritamu. Harus kuakui, terlalu banyak perbedaan di antara kita, tapi, kamulah satu –satunya orang yang benar –benar memahamiku, aku orang yang agak sedikit sulit. Tidak mudah untuk dekat denganku. Hehehe…kayak artis saja. Seperti surat –suratku yang lalu, aku menutupnya dengan sebuah ‘pujian’ untuk mu, ETUSGICAL. Everytime you say goodbye I cry a little:)  Sampai jumpa di bulan September…

WithLove,
                                                                                                Prudence

0 comments:

Posting Komentar